Kontroversi Merince Kogoya: Perjalanan Miss Papua Pegunungan yang Terhenti karena Video Lama
- IG/kogoya_merry
Jakarta, WISATA – Merince Kogoya, finalis Miss Indonesia 2025 asal Papua Pegunungan, harus mengakhiri mimpinya lebih awal setelah dipulangkan dari ajang tersebut. Keputusan ini memicu perdebatan publik dan menjadi sorotan media sosial, terutama karena alasan di balik pemulangannya: sebuah video lama yang memperlihatkan dirinya mengibarkan bendera Israel.
Merince bukanlah sosok sembarangan. Lahir di Wamena pada 14 Agustus 2005, ia dikenal sebagai mahasiswi berprestasi dari Universitas Cenderawasih (UNCEN) dan aktif di berbagai kegiatan akademik maupun olahraga. Ia pernah mengikuti Kompetisi Sains Nasional tingkat provinsi dan turnamen basket Honda DBL.
Untuk meraih gelar finalis Miss Papua Pegunungan, Merince menempuh perjuangan panjang. Dalam unggahan Instagramnya (@kogoya_merry), ia mengungkapkan bahwa proses seleksi hingga karantina memakan waktu empat bulan, melibatkan biaya lebih dari Rp65 juta, dan bahkan dilakukan di tengah situasi keamanan yang genting di Papua.
Masalah muncul ketika sebuah video reels yang diunggah Merince dua tahun lalu kembali viral. Dalam video tersebut, ia terlihat mengibarkan bendera Israel sambil menuliskan kalimat religius seperti “Giat bagi SION, Setia bagi YERUSALEM, Berdiri bagi ISRAEL”. Aksi ini dianggap sebagian publik sebagai bentuk dukungan terhadap Israel, yang bertentangan dengan sikap politik Indonesia yang pro-Palestina.
Merince menjelaskan bahwa aksinya murni bagian dari keyakinan agamanya sebagai seorang Kristen. Ia menegaskan bahwa video tersebut bukanlah pernyataan politik, melainkan ekspresi doa dan ibadah.
Yayasan Miss Indonesia, melalui akun komunitas @sobat_pageant, mengonfirmasi bahwa Merince telah dipulangkan dan digantikan oleh Karmen Anastasya sebagai wakil Papua Pegunungan. Keputusan ini disebut sebagai bentuk komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi yang dijunjung dalam ajang tersebut.
Sementara itu, reaksi publik terbagi. Sebagian besar warganet mendukung keputusan yayasan, menyebut tindakan Merince tidak sensitif terhadap isu kemanusiaan di Palestina. Namun, ada pula yang menilai keputusan tersebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap kebebasan beragama dan ekspresi pribadi.