Kesenian Ludruk: Budaya Asli Jawa Timur yang Penuh Satire, yang Jadi Saksi Perubahan Zaman
- IG/kabarmojokerto
Surabaya, WISATA – Ludruk bukan sekadar hiburan. Di Surabaya, kesenian ini adalah cermin sejarah, kritik sosial, dan napas rakyat. Ia lahir dari rahim rakyat jelata, tumbuh di sela-sela kesulitan hidup, dan menjadi saksi perubahan zaman. Namun, seperti banyak kesenian tradisional lainnya, ludruk kini berada di persimpangan antara pelestarian dan kepunahan.
Ludruk pertama kali muncul di Surabaya sekitar awal abad ke-20. Berbeda dengan ketoprak dari Jawa Tengah yang dimainkan oleh perempuan, ludruk khas karena seluruh perannya dimainkan oleh laki-laki, termasuk tokoh perempuan.
Kesenian ini berkembang dari tradisi besutan—pentas jalanan yang spontan dan mengandalkan improvisasi. Salah satu nama yang disebut dalam sejarah awal ludruk adalah Cak Durasim, yang tak hanya pelawak tapi juga pejuang lewat satire panggungnya. Ia bahkan pernah dipenjara karena mengejek kolonial Belanda dalam dialog panggungnya.
Pertunjukan ludruk dibuka dengan bedhayan (tarian pembuka), dilanjutkan dengan ngremo (monolog pembuka), dan baru masuk ke cerita utama yang biasanya mengangkat kisah keseharian rakyat, kritik sosial, hingga situasi politik.
Selain Cak Durasim, nama-nama legendaris seperti Cak Kartolo, Cak Markeso, dan Kirun menjadi ikon ludruk era 70-90an. Cak Kartolo, misalnya, dikenal dengan gaya bicara ceplas-ceplos, kocak, tapi sarat kritik. Ia masih aktif hingga sekarang, bahkan membuat kanal YouTube bersama anak-anak muda untuk memperkenalkan kembali ludruk kepada generasi digital.
Kelompok Ludruk Karya Budaya, merupakan salah satu grup paling konsisten menggelar pentas hingga kini. Mereka rutin tampil di Taman Budaya Cak Durasim setiap akhir pekan, meski penonton tidak lagi sebanyak masa keemasannya.
Dulu, ludruk bisa ditemui di pelosok kampung hingga stadion. Di era 60-80an, pertunjukan ludruk bisa mengundang ribuan penonton. Tiket ludes, kursi tambahan berderet hingga ke jalanan. Ludruk tak hanya di Surabaya, tapi juga berkembang ke daerah Jombang, Sidoarjo, Mojokerto, dan sekitarnya. Bahkan, ada grup ludruk yang pentas keliling Jawa Timur dan direkam dalam kaset serta VCD.