Filsafat Ryan Holiday: Jawaban atas Krisis Makna Zaman Sekarang? Temukan Alasannya di Sini
- Cuplikan Layar
Jakarta, WISATA — Di tengah gempuran media sosial, pencitraan digital, dan kehidupan yang makin serba cepat namun hampa, banyak orang—terutama generasi muda—mengalami krisis makna. Pertanyaan seperti “Aku hidup untuk apa?”, “Mengapa aku merasa kosong meskipun terlihat sukses?”, dan “Apakah ini semua sepadan?” makin sering terdengar. Ryan Holiday, lewat filosofi Stoik yang ia popularisasi, justru hadir sebagai jawaban sederhana atas kegelisahan zaman ini.
Holiday, penulis buku best-seller seperti The Obstacle Is the Way, Ego Is the Enemy, dan Stillness Is the Key, tidak berbicara dari podium akademik. Ia berbicara dari kehidupan nyata—dengan bahasa yang jernih, lugas, dan relevan. Baginya, makna bukan sesuatu yang ditemukan, tetapi dibentuk melalui tindakan sehari-hari yang bernilai.
Makna Bukan dari Dunia Luar, Tapi dari Dalam Diri
Ryan Holiday percaya bahwa krisis makna muncul karena kita terlalu bergantung pada validasi eksternal—like, komentar, promosi jabatan, atau gelar. Padahal, semua itu mudah hilang dan seringkali kosong makna.
Filsafat Stoik yang ia ajarkan mengingatkan bahwa makna sejati datang dari sikap dan nilai yang kita pegang, bukan dari hasil yang kita dapat. Ini bukan ajakan untuk pasrah, tapi untuk sadar: hidup bukan tentang apa yang kita miliki, tapi bagaimana kita menjalaninya.
Tiga Pilar Menciptakan Makna ala Ryan Holiday
1. Disiplin Harian = Kehidupan Bermakna
Bagi Holiday, disiplin bukan bentuk hukuman, tapi fondasi makna. Bangun pagi untuk menulis, membaca buku berat setiap hari, mencatat pikiran dalam jurnal—semuanya bukan rutinitas kosong, melainkan ritual pencipta makna.