Ketahanan Batin di Zaman Kacau: Pelajaran dari Jules Evans dan Filsafat Stoik

Jules Evans
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA — Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, tekanan sosial, dan serbuan informasi digital, manusia modern sering kali merasa kewalahan secara emosional. Dalam situasi seperti ini, ketahanan batin menjadi kualitas yang tidak hanya penting, tetapi mendesak. Salah satu tokoh yang menawarkan panduan praktis untuk membangun ketahanan tersebut adalah Jules Evans—seorang penulis, peneliti, dan pembicara publik asal Inggris—yang dikenal luas karena usahanya menghidupkan kembali filsafat Stoik dalam kehidupan kontemporer.

Ketakutan Itu Sering Kali Cuma Ilusi: Pelajaran Stoik Donald Robertson tentang Keberanian Pikiran

Siapa Jules Evans?

Jules Evans bukan sekadar akademisi. Ia adalah sosok yang mengalami sendiri krisis kesehatan mental di masa mudanya. Pengalaman itu membawanya pada eksplorasi mendalam terhadap terapi kognitif perilaku (CBT) dan filsafat Stoik, dua pendekatan yang kemudian ia gabungkan untuk membantu orang-orang menghadapi tantangan psikologis modern.

Ubah Cara Pikir, Ubah Hidup: Pelajaran Stoik Donald Robertson tentang Emosi dan Pikiran

Melalui bukunya yang berjudul Philosophy for Life and Other Dangerous Situations (2012), Evans menunjukkan bahwa ajaran kuno dari tokoh-tokoh seperti Epiktetos, Marcus Aurelius, dan Seneca masih sangat relevan untuk membangun ketahanan batin dalam menghadapi realitas kehidupan masa kini.

Ketahanan Batin: Lebih dari Sekadar Tahan Mental

Emosi Bukan Musuh: Pelajaran dari Donald Robertson tentang Cara Mengelolanya dengan Bijak

Dalam pandangan Jules Evans, ketahanan batin bukan sekadar kemampuan bertahan saat menghadapi stres. Ketahanan sejati adalah kemampuan untuk tetap tenang, jernih, dan rasional dalam menghadapi situasi sulit, tanpa terseret oleh emosi negatif atau ekspektasi yang tidak realistis.

Stoikisme mengajarkan bahwa bukan peristiwa yang menyakiti kita, melainkan interpretasi kita terhadap peristiwa tersebut. Dengan memahami dan mengendalikan pikiran, manusia bisa menghadapi penderitaan, kegagalan, atau kekecewaan dengan kepala tegak dan hati yang lapang.

Halaman Selanjutnya
img_title